“Luka di telapak gue bisa sembuh dengan 3 jahitan. Luka di hati gue butuh lebih dari itu”
Begitulah tulisan di kolom shoutout profile friendster gue belakangan ini. Luka apa lagi? Mungkin lebih tepat kalau gue nulis kata2 itu dengan “past tense”, itu bukan luka baru, itu luka yang gue dapat pertengahan tahun ini. * gue rasa gak perlu lagi dibahas panjang lebar di postingan kali ini*
Kata-kata gue itu hanya ingin membandingkan antara luka di telapak tangan, yang gue dapat karena “manjat” tiang bendera.. *naah just joking… gile apa gue manjat2 tiang bendera*, dengan luka yang gue dapat waktu itu, antara luka fisik dan luka psikologis. Ternyata luka fisik itu lebih mudah diobati daripada luka psikologis, dengan 3 jahitan, luka sebesar 2 cm dan dalam kira-kira 1-2 cm ini, bisa tertutup, tapi… luka di hati gue, butuh lebih dari sekedar “jahitan” yang menggunakan benang jahit bernama “permintaan maaf”. Kadang-kadang “jahitan” itu kembali terkoyak, dan air mata kembali turun.
Meskipun obat “keikhlasan” berkali-kali diteteskan, berharap luka itu akan mengering perlahan, tapi itu tidak dapat mencegah luka itu untuk terbuka setiap kali ada kesempatan. Setiap kali gue merasa luka itu terbuka, gue hanya bisa mengerang kesakitan pada Sang Dokter, pada malam-malam tertentu, disaat luka itu menganga lebih besar daripada biasanya, dan rasa sakit yang tak tertahankan kembali menyergap gue, dengan diam-diam gue menyalahkan Nya,mengapa Ia membiarkan ini terjadi, mengapa Ia membiarkan luka gue bisa terbuka dan tidak mengering? Bukannya gampang buat Nya untuk memberikan “ band aid” sehingga perasaan gue tidak akan “berdarah-darah” lagi?
Dengan penuh kesabaran Dia menjelaskan bahwa, luka itu harus tertutup dari dalam, dan mempertanyakan pada gue, apakah tubuh gue sudah mengeluarkan mediator untuk membantu penyembuhan luka itu yang bernama “ pengampunan”?
“ Sudah!” jawab gue lantang, gue merasa tersinggung dengan pertanyaanNya, seakan gue lah yang menginginkan luka itu tidak kunjung kering dengan menahan2 mediator penyembuh itu.
“ Apakah kamu selalu melepaskannya, setiap kali luka itu terbuka?” tanya Nya lagi
Gue terdiam sejenak, kemudian sadar bahwa gue jarang mengeluarkan “pengampunan” ini, seringkali gue nggak mau untuk melepaskannya.
“ Kalau kamu tidak rajin untuk mengeluarkannya, luka itu akan memproduksi racun “kepahitan” dalam hatimu dan racun itu akan dengan mudah menjalar seperti kanker.” jawabNya, memecah keheningan.
“ Bukankah lebih mudah jika kamu beri aku “ band aid” untuk menambal luka ku ini dan semua pasti baik-baik saja?” elak gue dari kata-kata Nya yang sukses membuat gue tertohok.
“ Jika aku memberimu seseorang untuk menambal luka hati mu, tanpa mengeluarkan racun dan nanah yang ada, apakah itu tidak akan membuat hati mu busuk perlahan-lahan dan nanah akan berkumpul di dalam hatimu?” jawab Nya bijak
Gak mudah buat gue untuk mengampuni apa yang telah terjadi, bodoh bukan? Kejadian itu sudah hampir 6 bulan yang lalu, dan oknum nya sudah “happy-happy” saja, sedangkan gue masih sibuk dengan jahitan yang tidak kunjung mengering. Tapi kalau kamu pernah merasa disakitin sama orang yang kamu yakin dan percaya tidak akan pernah menyakitimu, hal yang sama pasti kamu rasakan.
Sekarang pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan membiarkan luka itu berdarah terus menerus, dan menjadi racun dalam kehidupan kita, atau kita mau melepaskan mediator penyembuh “pengampunan” itu setiap kali luka itu terasa nyeri atau terbuka sekalipun, sampai luka itu benar-benar kering dan tidak terasa sakit lagi?
Kawan,
Kini aku ada di suatu persimpangan jalan hidup
Dan kau berdiri disana, memegang pisau berlumur darah, darah ku…
Kawan,
Kau menatap ku dan dari bibir kaku mu terucap kata yang sama berulangkali
“ Maaf”
Kau mendekatiku, berusaha membantuku, dengan pisau yang masih tergenggam di tangan
“ Jangan! Jangan mendekat, kau akan semakin melukaiku nanti!” teriakku histeris
Kau menatapku nanar, lalu berjalan pergi.
Kawan,
Aku tidak membencimu atas apa yang telah kau lakukan
Aku menghargai usahamu untuk menolongku, tapi itu akan smakin membuat ku terluka
Aku masih terpaku di tempat ini,
Dengan tertatih-tatih aku berusaha menyelamatkan hatiku yang berdarah hebat
Aku menyerah….
Kali ini sungguh parah luka yang dibuat, dan aku tidak tahu harus bagaimana.
Tiba-tiba kebencianku pada mu muncul dan semakin memuncak.
Lalu Ia datang, membalut pelan-pelan hati ku
Mengajariku suatu bahasa yang tidak pernah ku tahu sebelumnya
Dengan sabar Ia menuntunku berbicara bahasa tersebut, bahasa Kasih..
Aku sering memberontak dari Nya,
Enggan rasanya untuk berbicara bahasa itu pada mu, hanya padamu…
Kepahitan demi kepahitan meluncur dari mulutku, mengalahkan bahasa baru itu
Sampai akhirnya aku lelah, tidak ingin bicara, tidak ingin hidup…
Kembali Ia taruhkan bahasa Kasih ke dalam hatiku
Dan kini, aku dengan tergagap mulai bisa untuk menyuarakan bahasa itu,
Kepada semua orang, khususnya pada mu, kawan.
No comments:
Post a Comment